Satronji atau nardasyir
atau yang dikenal di zaman sekarang dengan bermain catur merupakan adat
dan kebiasaan orang zaman modern untuk melakukannya. Bentuk
permainannya tidak sebagaimana dadu ataupun bermain kartu remi, akan
tetapi lebih kepada permainan yang menguras otak dengan mengatur siasat
untuk dapat mengalahkan lawan dengan beberapa icon yang diibaratkan
sebagai dua buah kerajaan yang sedang melakukan peperangan. Permainan
catur ini telah diselenggarakan dalam beberapa pertandingan olahraga
termasuk dalam olahraga tingkat dunia, Olimpiade yang telah dimulai
puluhan tahun yang lalu.
Hadits-Hadits berkenaan dengan Catur
-
Dari Sulaiman bin Buraidah. Dari bapaknya katanya Nabi SAW bersabda, “Siapa yang bermain permainan nardasyir (sejenis catur), maka seolah-olah dia melumuri tangannya dengan daging dan darah babi.“.1 Juga hadits yang berarti, “Barang siapa yang bermain dengan dadu berarti ia telah durhaka terhadap Alloh dan Rasul-Nya.”
-
“Terkutuk orang yang main catur itu.” Adapun kedudukan hadits ini adalah maudhu’. Dikeluarkan oleh ad-Dailami (IV/63) dari Ibad bin Abdus Shamad dari Anas yang di-marfu’-kannya.
Syaikh al-Albani sependapat, sanad ini maudhu’
(palsu) dan kelemahannya karena adanya Ibad ini, yang oleh Imam Bukhari
dinyatakan mungkar periwayatannya. Kemudian, Ibnu Hibban menegaskan,
“Telah meriwayatkan dari Anas sekumpulan riwayat yang semuanya maudhu’.”
Al-Hafizh as-Sakhawi mengatakan dalam kitab Umdatul Muhtaj fi Hukmisy-Syathranj (I/9), “Imam an-Nawawi ditanya tentangnya maka ia jawab tidak shahih.”
Yang semisalnya adalah yang dikemukakan oleh imam As-Suyuthi dalam kitabnya al-Jami‘ dari riwayat Abdan dan Abu Musa serta Ibnu Hazm dari Habbah bin Muslim secara mursal, sambil menambahkan “Dan orang yang melihat kearahnya bagaikan makan daging babi.” Al-Manawi mengatakan, “Habbah adalah seorang tabi’in yang tidak dikenal kecuali dengan periwayatan ini,” dan di dalam kitab al-Mizan dinyatakan, “Ini adalah riwayat mungkar.”
Hadits
ini, menurut syaikh Al-Albani, merupakan periwayatan Ibnu Juraij dari
Habbah, dikatakan pada salah satu dari kedua jalur sanad yang paling
shahih darinya, namun keduanya dhaif. Telah meriwayatkan hadits dari Habbah bin Muslim dan mempunyai dua kelemahan, mursal dan keterputusan sanad.2
-
“Apabila kalian melewati mereka yang tengah bermain undi nasib seperti catur, dadu, dan apa saja yang termasuk lahwun ‘main-main’ maka janganlah kalian memberi salam kepada mereka. Dan, bila mereka memberi salam kepada kalian, maka janganlah kalian balas salam mereka, karena apabila mereka berkumpul menggelutinya, datanglah iblis –semoga Allah menghinakannya– dengan membawa tentaranya seraya mengerumuni mereka. Dan, setiap ada orang yang meninggalkan tempat catur ia memojokkannya, lalu datanglah malaikat dari belakang seraya melotot terhadap mereka, dan merekapun (yakni iblis) tidak lagi mendekati mereka (orang-orang yang berpaling dari permainan). Dan, para malaikat tidak henti-hentinya mengutuk mereka hingga mereka berpisah dan berpencar bagaikan anjing yang berkumpul berebut bangkai, memakannya hingga kenyang perutnya kemudian mereka berpencar.“
Hadits ini adalah maudhu’. Dikeluarkan oleh al-Ajri dalam kitab Tahrim an-Nard wasy-Syathranj wal-malahi
(II/43-Q) dengan jalur sanad dari Sulaiman bin Daud al-Yamami, dari
Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu
Hurarirah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda …” (hadits di
atas).
Menurut
Syaikh al-Albani, sanad riwayat ini sangat dhaif dan ada penyakitnya
karena ada Sulaiman bin Daud al-Yamami. Tentangnya, Imam adz-Dzahabi
menegaskan dalam kitab al-Mizan, “Ibnu Mu’in mengatakan,
‘Sulaiman bin Daud tidak ada harganya.’” Sedangkan Imam Bukhari
menyatakan, “Sulaiman bin Daud mungkar periwayatan haditsnya.” Mengenai
hal ini telah berulang kali saya jelaskan bahwa makna penyataan Bukhari
“mungkar periwayatan haditsnya” berarti tidak dibenarkan meriwayatkan
hadits pemberitaannya.
Adapun
Ibnu Hibban hanya mengatakan ia sebagai perawi dhaif, sedangkan para
pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Sulaiman bin Daud ditinggalkan
periwayatannya.
Kemudian, kami dapatkan al-Hafizh Ibnul Muhibb al-Maqdisi dengan tulisan tangannya menulis catatan pinggir kitab al-Ajri, “Ini hadits dhaif.”
Menurut syaikh al-Albani, bahkan hadits ini adalah maudhu‘.
Dan tanda-tanda kepalsuannya sangat nyata karena penyakitnya, yaitu
al-Yamami sebagai perawi tertuduh seperti telah kita ketahui dari
pernyataan Imam Bukhari.” Wallahu a’lam.3
Hukum Bermain Catur
Setiap
permainan yang menjadikan satu pihak bisa menang dan pihak lain kalah
adalah termasuk judi yang diharamkan, baik menggunakan sarana apa saja
seperti catur, dadu dan lain-lainya, yang di jaman kita ini disebut
lotere atau adu nasib, baik yang bertujuan untuk kebaikan, seperti dana
sosial atau yang semata-mata demi mencari keuntungan, maka semuanya itu
termasuk keuntungan yang tidak baik.
Ibnu
Sirin berkata, bahwa setiap sesuatu yang mengandung bahaya, maka itu
adalah judi. Dalam hal ini Imam al-Alusi berpendapat, bahwa yang
tergolong maisir
adalah segala macam permainan judi, seperti dadu, catur dan lain-lain.
Adapun permainan dadu, maka telah menjadi ijma atas haramnya sebagaimana
sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa bermain dadu maka benar-benar telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”..4
Adapun
berkenaan dengan bermain catur sebagaimana disebutkan di atas, maka
hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut adalah maudhu’, hanya saja para ulama mengharamkannya dengan dalil surat al-Maidah ayat 3.
Sufyan
bin Waki’ bin Jaroh berkata, “kata ‘azlam’ adalah catur.” Imam Mujahid
berkata, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka akan ditampakkan di
hadapan teman-teman duduknya. Suatu hari seorang yang suka bermain catur
sedang manghadapi ajalnya, lantas ditalqinkan atasnya syahadat, namun
orang tersebut berkata, “Skak”
lalu ia mati. Lidahnya sudah terbiasa mengucapkan kata-kata itu selagi
ia hidup, sehingga ketika ajal datang ia mengganti kalimat tauhid dengan
skak. Demikian juga sebagaimana orang-orang yang duduk bersama para
pemabuk.5
Imam
adz-Dzahabi berkata, “Adapun tentang catur sebagian besar para ulama
mengharamkannya, baik dengan taruhan atau tidak. Jika dengan taruhan
maka termasuk judi tanpa diperselisihkan lagi. Sedang jika tidak maka
diperselisihkan dan para ulama mengangapnya sama.”6
Termasuk
kekeliruan yang dilakukan kaum muslimin dalam menyambut ied adalah
dengan begadang di malam hari, asyik duduk menyaksikan film-film atau
sinetron, permainan-permainan, seperti kartu remi, domino, catur dan
semisalnya.7
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya Apakah boleh bermain
catur dengan syarat-syarat tidak terus menerus (kontinyu) tapi hanya
pada waktu luang saja. Tidak saling mengejek selama pemainan. Tidak
melalaikan shalat-shalat wajib? Beliau menjawab, “Menurut pendapat yang
kuat bahwa permainan catur hukumnya adalah haram dengan beberapa alasan,
yaitu :
-
Buah catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi bersabda yang artinya, “Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya ada gambar.”8
-
Permainan tersebut telah condong membuat lalai dari mengingat Allah, maka segala sesuatu yang dapat membuat lalai dari mengingat Allah adalah haram hukumnya, karena Allah telah menerangkan tentang hikmah dilarangnya khamr, berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan firman Alloh SWT yang artinya, “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [Al-maidah : 91]
Alasan
lain yang membuatnya haram adalah bahwa permainan itu berpotensi
menimbulkan permusuhan sesama pemain, dimana seseorang bisa saja
mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya ia ucapkan kepada
saudaranya sesama muslim. Selain itu, permainan catur dapat membatasi
kecerdasan seseorang hanya pada satu bidang saja (hanya dalam permainan
catur saja) dan dapat melemahkan akal sebagaimana yang telah saya
sebutkan diatas.
Konon
dikatakan bahwa orang yang tekun dalam permainan catur, jika mereka
terjun ke bidang lain yang membutuhkan kecerdikan dan kecerdasan, maka
kita mendapatkan mereka sebagai orang yang paling lemah akalnya. Untuk
alasan itulah maka permainan catur diharamkan.
Jika
permainan catur tanpa menggunakan uang atau tanpa berjudi saja hukumnya
haram, apalagi bila permainan itu disertai dengan perjudian.” Demikian
pendapat dari Syaikh al-Utsaimin.9
Lepas
dari masalah tempat untuk bermainnya apakah di masjid atau di tempat
lain, para ulama jauh sebelum kita ini sudah membicarakan sebatas hukum
main caturnya saja. Dan sebagaimana biasa dalam masalah yang tidak ada
nash yang sorih, maka pendapat mereka para ulama ahli fikih tidaklah
sama satu dengan yang lainnya. Secara lebih jauh bisa kita sebutkan
beberapa pendapat mereka.
Pendapat Pertama, Mereka yang mengharamkan main catur.
Mereka
adalah jumhur ulama dari kalangan al-Hanafiyah, al-Hanabilah dan
sebagian riwayat pendapat Imam Malik. Ulama al-Hanafiyah menetapkan
bahwa permainan catur itu hukumnya makruh baik main dadu atau catur.
Sedangkan bila permainan itu bercampur dengan unsur judi, atau dilakukan
secara rutin atau bahkan sampai meninggalkan pekerjaan yang wajib, maka
hukumnya menjadi haram secara ijma`.
Sedangkan
al-Malikiyah mengatakan bahwa permainan tersebut tidak ada kebaikan di
dalamnya, hingga sampai pada titik dimana orang yang bermain catur tidak
bisa diterima kesaksiannya. Al-Hanabilah mengatakan, bahwa permainan
catur itu hukumnya haram secara mutlak.
Pendapat Kedua, Mereka yang mengatakan makruh
Pendapat
ini didukung oleh para ulama asy-Syafi`iyyah dan para pengikutnya.
Hanya saja Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hal-hal tersebut menjadi
makruh bila dilakukan secara rutin.
Pendapat Ketiga, Mereka yang mengatakan boleh.
Ini
adalah pendapat para tabi’in besar dan juga riwayat dari Abi Yusuf dari
al-Hanafiyah dan mereka memberikan alasan jika permainan itu
dimaksudkan untuk melatih otak.
Al-Hafidz
Ibnul-Bar berkata, bahwa pendapat jumhur fuqoha tentang catur adalah
bahwa orang yang memainkannya tanpa ada unsur judi dan
dilakukan secara tertutup bersama keluarga sekali dalam sebulan atau
setahun dan juga tidak diketahui oleh orang lain maka hukumnya dimaafkan
dan tidak haram atau tidak makruh.
Tapi jika dia melakukannya secara terang-terangan maka muru`ah dan a`dalahnya jatuh sehinggga mengakibatkan kesaksiannya tidak diterima. (Lihat At-Tamhid : 13/183 dan Al-Qurtubi : 8/338).
Diantara orang yang memberikan rukhshah
untuk bermain catur selama tidak ada unsur judi adalah: Said bin
Musayyab, Said bin Jubair, Muhammad bin Sirin, Urwah bin Zubair,
as-Sya`bi, al-Hasan Al-Bashri, Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib,
Ibnu Syihab, Rabi`ah dan Atho` (Lihat At-Tamhid : 13/181).
Dr.
Yusuf al-Qordhawi dalam kitab “Halal dan Haram”nya yang masyhur, beliau
berkata, “Di antara permainan yang sudah terkenal ialah catur. Para
ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah,
makruh dan haram. Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa
hadits Nabi. Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan
membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai
tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadits yang menerangkan
tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil (dhaif). 10
Di
kalangan para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur
ini. Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya
sama dengan judi. (Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan
judi). Sementara ada juga yang berpendapat makruh.
Ali
bin Abi Tholib berkata, Catur itu adalah judinya orang-orang a’jam
(selain Arab).” Suatu ketika beliau berjalan di hadapan orang yang
bermain catur lalu berkata, “Patung-patung apakah yang kalian hadapi
ini? Seandainya kalian menyentuh bara api sampai padam adalah lebih baik
dari pada menyentuh benda ini, Demi Allah bukan untuk ini kalian
diciptakan.”
Sedangkan
sahabat Ibnu Abbas pernah diamanahi mengurusi anak yatim dan harta
mereka, lalu beliau mendapatkan dalam rumah itu terdapat catur lalu
beliau membakarnya, kalalulah boleh tentu beliau tidak akan membakarnya.
Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Orang yang bermain catur hanyalah orang
yang salah.”
Ibrohim an-Nakho’i berkata, “Bermain catur adalah terkutuk.”11
Dan
di antara sahabat dan tabi’in ada juga yang menganggapnya mubah. Di
antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam
bin ‘Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair. Inilah pendapat
orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut
hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam
hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya. Dan
pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya
terdapat semacam olahraga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu
tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka
mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan
(spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam
permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba
memanah.
Namun tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:
-
Tidak boleh menyebabkan tertundanya shalat.
-
Tidak boleh bercampur dengan unsur judi.
-
Bisa menjaga lisannya ketika sedang bermain untuk tidak bicara kotor atau membicarakan orang dan yang sejenisnya.
Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.12
Imam asy-Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang, “Hai Imam Syafi’i, kamu membolehkan manusia bermain catur padahal Rasulullah telah bersabda, ‘Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.‘13
Demikian
Imam asy-Syafii, bahkan beliau membolehkan permainan catur dengan
syarat-syarat, bila permainan catur tanpa pertaruhan, tanpa omongan yang
melampaui batas dan tidak sampai melalaikan shalat, maka tidak haram
dan tidak termasuk maisir (judi), karena judi ditandai adanya pembayaran
uang atau pengambilan uang, sedang hakekat permainan catur tidak
demikian, maka ia tidak termasuk judi.14
Imam
an-Nawawi pernah ditanya tentang boleh dan tidaknya, dosa atau tidak
bermain catur, beliau menyebutkan bila dalam permainan menyebabkan
hilangnya kesempatan untuk menunaikan sholat, atau disertai dengan
taruhan maka hukumnya menjadi haram, jika tidak maka makruh, demikian
pendapat asy-Syafi’i sedang menurut pendapat lainnya tetap haram.15
Dengan ketatnya pendapat ulama tentang masalah main catur ini, apalagi para ulama dahulu sering mengaitkannya dengan muru’ah dan `adalah
seseorang, yaitu kehormatan/nama baik dan keadilan. Sehingga bisa
menggugurkan level kebolehannya untuk bisa diterima kesaksiannya di
depan sidang pengadilan. Terlebih lagi bermain catur di dalam masjid,
maka hal ini sangatlah tidak layak karena bermain catur di masjid jelas
merusak kehormatan masjid itu sendiri dan lebih baik untuk dihindari. 16
Demikian bermain catur secara umum, terlebih dilakukan di masjid. Maka dalam hal ini Alloh SWT telah berfirman yang artinya: “(Mereka yang mendapat pancaran nur Ilahi) adalahbertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan
dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan
(dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari
itu) hati dan penglihatan menjadi goncang..(Meraka
mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada
mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah
memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” ( Q.S An Nuur : 36-38 )
Kesimpulan
Para Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum bermain catur, kebanyakan
dari mereka adalah mengharamkannya dengan menyamakannya dengan permainan
dadu dan atau selainnya yang baik dilakukan untuk berjudi atau tidak.
Adapun yang membolehkan permainan catur adalah dengan syarat-syarat yang
telah disebutkan oleh para ulama di atas. Wallahu A`lam Bisshowab.
Satronji atau nardasyir
atau yang dikenal di zaman sekarang dengan bermain catur merupakan adat
dan kebiasaan orang zaman modern untuk melakukannya. Bentuk
permainannya tidak sebagaimana dadu ataupun bermain kartu remi, akan
tetapi lebih kepada permainan yang menguras otak dengan mengatur siasat
untuk dapat mengalahkan lawan dengan beberapa icon yang diibaratkan
sebagai dua buah kerajaan yang sedang melakukan peperangan. Permainan
catur ini telah diselenggarakan dalam beberapa pertandingan olahraga
termasuk dalam olahraga tingkat dunia, Olimpiade yang telah dimulai
puluhan tahun yang lalu.
Hadits-Hadits berkenaan dengan Catur
-
Dari Sulaiman bin Buraidah. Dari bapaknya katanya Nabi SAW bersabda, “Siapa yang bermain permainan nardasyir (sejenis catur), maka seolah-olah dia melumuri tangannya dengan daging dan darah babi.“.1 Juga hadits yang berarti, “Barang siapa yang bermain dengan dadu berarti ia telah durhaka terhadap Alloh dan Rasul-Nya.”
-
“Terkutuk orang yang main catur itu.” Adapun kedudukan hadits ini adalah maudhu’. Dikeluarkan oleh ad-Dailami (IV/63) dari Ibad bin Abdus Shamad dari Anas yang di-marfu’-kannya.
Syaikh al-Albani sependapat, sanad ini maudhu’
(palsu) dan kelemahannya karena adanya Ibad ini, yang oleh Imam Bukhari
dinyatakan mungkar periwayatannya. Kemudian, Ibnu Hibban menegaskan,
“Telah meriwayatkan dari Anas sekumpulan riwayat yang semuanya maudhu’.”
Al-Hafizh as-Sakhawi mengatakan dalam kitab Umdatul Muhtaj fi Hukmisy-Syathranj (I/9), “Imam an-Nawawi ditanya tentangnya maka ia jawab tidak shahih.”
Yang semisalnya adalah yang dikemukakan oleh imam As-Suyuthi dalam kitabnya al-Jami‘ dari riwayat Abdan dan Abu Musa serta Ibnu Hazm dari Habbah bin Muslim secara mursal, sambil menambahkan “Dan orang yang melihat kearahnya bagaikan makan daging babi.” Al-Manawi mengatakan, “Habbah adalah seorang tabi’in yang tidak dikenal kecuali dengan periwayatan ini,” dan di dalam kitab al-Mizan dinyatakan, “Ini adalah riwayat mungkar.”
Hadits
ini, menurut syaikh Al-Albani, merupakan periwayatan Ibnu Juraij dari
Habbah, dikatakan pada salah satu dari kedua jalur sanad yang paling
shahih darinya, namun keduanya dhaif. Telah meriwayatkan hadits dari Habbah bin Muslim dan mempunyai dua kelemahan, mursal dan keterputusan sanad.2
-
“Apabila kalian melewati mereka yang tengah bermain undi nasib seperti catur, dadu, dan apa saja yang termasuk lahwun ‘main-main’ maka janganlah kalian memberi salam kepada mereka. Dan, bila mereka memberi salam kepada kalian, maka janganlah kalian balas salam mereka, karena apabila mereka berkumpul menggelutinya, datanglah iblis –semoga Allah menghinakannya– dengan membawa tentaranya seraya mengerumuni mereka. Dan, setiap ada orang yang meninggalkan tempat catur ia memojokkannya, lalu datanglah malaikat dari belakang seraya melotot terhadap mereka, dan merekapun (yakni iblis) tidak lagi mendekati mereka (orang-orang yang berpaling dari permainan). Dan, para malaikat tidak henti-hentinya mengutuk mereka hingga mereka berpisah dan berpencar bagaikan anjing yang berkumpul berebut bangkai, memakannya hingga kenyang perutnya kemudian mereka berpencar.“
Hadits ini adalah maudhu’. Dikeluarkan oleh al-Ajri dalam kitab Tahrim an-Nard wasy-Syathranj wal-malahi
(II/43-Q) dengan jalur sanad dari Sulaiman bin Daud al-Yamami, dari
Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu
Hurarirah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda …” (hadits di
atas).
Menurut
Syaikh al-Albani, sanad riwayat ini sangat dhaif dan ada penyakitnya
karena ada Sulaiman bin Daud al-Yamami. Tentangnya, Imam adz-Dzahabi
menegaskan dalam kitab al-Mizan, “Ibnu Mu’in mengatakan,
‘Sulaiman bin Daud tidak ada harganya.’” Sedangkan Imam Bukhari
menyatakan, “Sulaiman bin Daud mungkar periwayatan haditsnya.” Mengenai
hal ini telah berulang kali saya jelaskan bahwa makna penyataan Bukhari
“mungkar periwayatan haditsnya” berarti tidak dibenarkan meriwayatkan
hadits pemberitaannya.
Adapun
Ibnu Hibban hanya mengatakan ia sebagai perawi dhaif, sedangkan para
pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Sulaiman bin Daud ditinggalkan
periwayatannya.
Kemudian, kami dapatkan al-Hafizh Ibnul Muhibb al-Maqdisi dengan tulisan tangannya menulis catatan pinggir kitab al-Ajri, “Ini hadits dhaif.”
Menurut syaikh al-Albani, bahkan hadits ini adalah maudhu‘.
Dan tanda-tanda kepalsuannya sangat nyata karena penyakitnya, yaitu
al-Yamami sebagai perawi tertuduh seperti telah kita ketahui dari
pernyataan Imam Bukhari.” Wallahu a’lam.3
Hukum Bermain Catur
Setiap
permainan yang menjadikan satu pihak bisa menang dan pihak lain kalah
adalah termasuk judi yang diharamkan, baik menggunakan sarana apa saja
seperti catur, dadu dan lain-lainya, yang di jaman kita ini disebut
lotere atau adu nasib, baik yang bertujuan untuk kebaikan, seperti dana
sosial atau yang semata-mata demi mencari keuntungan, maka semuanya itu
termasuk keuntungan yang tidak baik.
Ibnu
Sirin berkata, bahwa setiap sesuatu yang mengandung bahaya, maka itu
adalah judi. Dalam hal ini Imam al-Alusi berpendapat, bahwa yang
tergolong maisir
adalah segala macam permainan judi, seperti dadu, catur dan lain-lain.
Adapun permainan dadu, maka telah menjadi ijma atas haramnya sebagaimana
sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa bermain dadu maka benar-benar telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”..4
Adapun
berkenaan dengan bermain catur sebagaimana disebutkan di atas, maka
hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut adalah maudhu’, hanya saja para ulama mengharamkannya dengan dalil surat al-Maidah ayat 3.
Sufyan
bin Waki’ bin Jaroh berkata, “kata ‘azlam’ adalah catur.” Imam Mujahid
berkata, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka akan ditampakkan di
hadapan teman-teman duduknya. Suatu hari seorang yang suka bermain catur
sedang manghadapi ajalnya, lantas ditalqinkan atasnya syahadat, namun
orang tersebut berkata, “Skak”
lalu ia mati. Lidahnya sudah terbiasa mengucapkan kata-kata itu selagi
ia hidup, sehingga ketika ajal datang ia mengganti kalimat tauhid dengan
skak. Demikian juga sebagaimana orang-orang yang duduk bersama para
pemabuk.5
Imam
adz-Dzahabi berkata, “Adapun tentang catur sebagian besar para ulama
mengharamkannya, baik dengan taruhan atau tidak. Jika dengan taruhan
maka termasuk judi tanpa diperselisihkan lagi. Sedang jika tidak maka
diperselisihkan dan para ulama mengangapnya sama.”6
Termasuk
kekeliruan yang dilakukan kaum muslimin dalam menyambut ied adalah
dengan begadang di malam hari, asyik duduk menyaksikan film-film atau
sinetron, permainan-permainan, seperti kartu remi, domino, catur dan
semisalnya.7
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya Apakah boleh bermain
catur dengan syarat-syarat tidak terus menerus (kontinyu) tapi hanya
pada waktu luang saja. Tidak saling mengejek selama pemainan. Tidak
melalaikan shalat-shalat wajib? Beliau menjawab, “Menurut pendapat yang
kuat bahwa permainan catur hukumnya adalah haram dengan beberapa alasan,
yaitu :
-
Buah catur tidak ubahnya seperti patung yang memiliki bentuk. Sebagaimana diketahui bahwa memiliki gambar atau patung hukumnya adalah haram, karena Nabi bersabda yang artinya, “Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya ada gambar.”8
-
Permainan tersebut telah condong membuat lalai dari mengingat Allah, maka segala sesuatu yang dapat membuat lalai dari mengingat Allah adalah haram hukumnya, karena Allah telah menerangkan tentang hikmah dilarangnya khamr, berjudi, berhala, dan mengundi nasib dengan firman Alloh SWT yang artinya, “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [Al-maidah : 91]
Alasan
lain yang membuatnya haram adalah bahwa permainan itu berpotensi
menimbulkan permusuhan sesama pemain, dimana seseorang bisa saja
mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya ia ucapkan kepada
saudaranya sesama muslim. Selain itu, permainan catur dapat membatasi
kecerdasan seseorang hanya pada satu bidang saja (hanya dalam permainan
catur saja) dan dapat melemahkan akal sebagaimana yang telah saya
sebutkan diatas.
Konon
dikatakan bahwa orang yang tekun dalam permainan catur, jika mereka
terjun ke bidang lain yang membutuhkan kecerdikan dan kecerdasan, maka
kita mendapatkan mereka sebagai orang yang paling lemah akalnya. Untuk
alasan itulah maka permainan catur diharamkan.
Jika
permainan catur tanpa menggunakan uang atau tanpa berjudi saja hukumnya
haram, apalagi bila permainan itu disertai dengan perjudian.” Demikian
pendapat dari Syaikh al-Utsaimin.9
Lepas
dari masalah tempat untuk bermainnya apakah di masjid atau di tempat
lain, para ulama jauh sebelum kita ini sudah membicarakan sebatas hukum
main caturnya saja. Dan sebagaimana biasa dalam masalah yang tidak ada
nash yang sorih, maka pendapat mereka para ulama ahli fikih tidaklah
sama satu dengan yang lainnya. Secara lebih jauh bisa kita sebutkan
beberapa pendapat mereka.
Pendapat Pertama, Mereka yang mengharamkan main catur.
Mereka
adalah jumhur ulama dari kalangan al-Hanafiyah, al-Hanabilah dan
sebagian riwayat pendapat Imam Malik. Ulama al-Hanafiyah menetapkan
bahwa permainan catur itu hukumnya makruh baik main dadu atau catur.
Sedangkan bila permainan itu bercampur dengan unsur judi, atau dilakukan
secara rutin atau bahkan sampai meninggalkan pekerjaan yang wajib, maka
hukumnya menjadi haram secara ijma`.
Sedangkan
al-Malikiyah mengatakan bahwa permainan tersebut tidak ada kebaikan di
dalamnya, hingga sampai pada titik dimana orang yang bermain catur tidak
bisa diterima kesaksiannya. Al-Hanabilah mengatakan, bahwa permainan
catur itu hukumnya haram secara mutlak.
Pendapat Kedua, Mereka yang mengatakan makruh
Pendapat
ini didukung oleh para ulama asy-Syafi`iyyah dan para pengikutnya.
Hanya saja Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hal-hal tersebut menjadi
makruh bila dilakukan secara rutin.
Pendapat Ketiga, Mereka yang mengatakan boleh.
Ini
adalah pendapat para tabi’in besar dan juga riwayat dari Abi Yusuf dari
al-Hanafiyah dan mereka memberikan alasan jika permainan itu
dimaksudkan untuk melatih otak.
Al-Hafidz
Ibnul-Bar berkata, bahwa pendapat jumhur fuqoha tentang catur adalah
bahwa orang yang memainkannya tanpa ada unsur judi dan
dilakukan secara tertutup bersama keluarga sekali dalam sebulan atau
setahun dan juga tidak diketahui oleh orang lain maka hukumnya dimaafkan
dan tidak haram atau tidak makruh.
Tapi jika dia melakukannya secara terang-terangan maka muru`ah dan a`dalahnya jatuh sehinggga mengakibatkan kesaksiannya tidak diterima. (Lihat At-Tamhid : 13/183 dan Al-Qurtubi : 8/338).
Diantara orang yang memberikan rukhshah
untuk bermain catur selama tidak ada unsur judi adalah: Said bin
Musayyab, Said bin Jubair, Muhammad bin Sirin, Urwah bin Zubair,
as-Sya`bi, al-Hasan Al-Bashri, Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib,
Ibnu Syihab, Rabi`ah dan Atho` (Lihat At-Tamhid : 13/181).
Dr.
Yusuf al-Qordhawi dalam kitab “Halal dan Haram”nya yang masyhur, beliau
berkata, “Di antara permainan yang sudah terkenal ialah catur. Para
ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah,
makruh dan haram. Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa
hadits Nabi. Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan
membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai
tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadits yang menerangkan
tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil (dhaif). 10
Di
kalangan para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur
ini. Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya
sama dengan judi. (Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan
judi). Sementara ada juga yang berpendapat makruh.
Ali
bin Abi Tholib berkata, Catur itu adalah judinya orang-orang a’jam
(selain Arab).” Suatu ketika beliau berjalan di hadapan orang yang
bermain catur lalu berkata, “Patung-patung apakah yang kalian hadapi
ini? Seandainya kalian menyentuh bara api sampai padam adalah lebih baik
dari pada menyentuh benda ini, Demi Allah bukan untuk ini kalian
diciptakan.”
Sedangkan
sahabat Ibnu Abbas pernah diamanahi mengurusi anak yatim dan harta
mereka, lalu beliau mendapatkan dalam rumah itu terdapat catur lalu
beliau membakarnya, kalalulah boleh tentu beliau tidak akan membakarnya.
Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Orang yang bermain catur hanyalah orang
yang salah.”
Ibrohim an-Nakho’i berkata, “Bermain catur adalah terkutuk.”11
Dan
di antara sahabat dan tabi’in ada juga yang menganggapnya mubah. Di
antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam
bin ‘Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair. Inilah pendapat
orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut
hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam
hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya. Dan
pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya
terdapat semacam olahraga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu
tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka
mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan
(spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam
permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba
memanah.
Namun tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:
-
Tidak boleh menyebabkan tertundanya shalat.
-
Tidak boleh bercampur dengan unsur judi.
-
Bisa menjaga lisannya ketika sedang bermain untuk tidak bicara kotor atau membicarakan orang dan yang sejenisnya.
Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.12
Imam asy-Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang, “Hai Imam Syafi’i, kamu membolehkan manusia bermain catur padahal Rasulullah telah bersabda, ‘Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.‘13
Demikian
Imam asy-Syafii, bahkan beliau membolehkan permainan catur dengan
syarat-syarat, bila permainan catur tanpa pertaruhan, tanpa omongan yang
melampaui batas dan tidak sampai melalaikan shalat, maka tidak haram
dan tidak termasuk maisir (judi), karena judi ditandai adanya pembayaran
uang atau pengambilan uang, sedang hakekat permainan catur tidak
demikian, maka ia tidak termasuk judi.14
Imam
an-Nawawi pernah ditanya tentang boleh dan tidaknya, dosa atau tidak
bermain catur, beliau menyebutkan bila dalam permainan menyebabkan
hilangnya kesempatan untuk menunaikan sholat, atau disertai dengan
taruhan maka hukumnya menjadi haram, jika tidak maka makruh, demikian
pendapat asy-Syafi’i sedang menurut pendapat lainnya tetap haram.15
Dengan ketatnya pendapat ulama tentang masalah main catur ini, apalagi para ulama dahulu sering mengaitkannya dengan muru’ah dan `adalah
seseorang, yaitu kehormatan/nama baik dan keadilan. Sehingga bisa
menggugurkan level kebolehannya untuk bisa diterima kesaksiannya di
depan sidang pengadilan. Terlebih lagi bermain catur di dalam masjid,
maka hal ini sangatlah tidak layak karena bermain catur di masjid jelas
merusak kehormatan masjid itu sendiri dan lebih baik untuk dihindari. 16
Demikian bermain catur secara umum, terlebih dilakukan di masjid. Maka dalam hal ini Alloh SWT telah berfirman yang artinya: “(Mereka yang mendapat pancaran nur Ilahi) adalahbertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan
dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh
jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan
(dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari
itu) hati dan penglihatan menjadi goncang..(Meraka
mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada
mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah
memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” ( Q.S An Nuur : 36-38 )
Kesimpulan
Para Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum bermain catur, kebanyakan
dari mereka adalah mengharamkannya dengan menyamakannya dengan permainan
dadu dan atau selainnya yang baik dilakukan untuk berjudi atau tidak.
Adapun yang membolehkan permainan catur adalah dengan syarat-syarat yang
telah disebutkan oleh para ulama di atas. Wallahu A`lam Bisshowab.